FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
Nama :
Zahrotul Widad
NIM :
165200046
Prodi/Angkatan : PBSI/ 2016-B
Alamat Blog : Zahrotulwidad.blogspot.co.id
TUGAS UAS TEORI SASTRA
1.
Lapis Makna Puisi
a)
Subject
Matter (Pokok Pikiran)
Subject Matter adalah pokok pikiran
yang di kemukakan penyair lewat puisi yang di ciptakannya. Bila sense baru
berhubungan dengan gambaran makna dalam puisi secara umum, maka subject matter
berhubungan dengan satuan-satuan pokok pikiran tertentu yang secara khusus
membangun sesuaatu yang di ungkapkan penyair. (Aminuddin, 2002)
b)
Feeling
(Rasa)
Feeling yaitu sikap penyair terhadap pokok
permasalahan yang terdapat dalam puisinya. perasaan merupakan unsur ekstrinsik puisi yang paling
mewakili perasaan pengarang, ekspresi dapat berupa kerinduan, kegelisahan, atau
pengagungan kekasih, alam, atau sang Khalik. (Herwan, 2005)
c)
Tone
(Nada)
Tone
yaitu sikap
penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa.
Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama
dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada
pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll. (Herwan, 2005)
d)
Total
of meaning (Totalitas makna)
Totalitas
makna adalah keseluruhan makna yang terdapat dalam suatu puisi. Penentuan totalitas makna puisi
didasarkan atas pokok pokok pikiran yang ditampilkan penyair, sikap penyair di
dalam pokok pikiran, serta sikap penyair terhadap pembaca. Hasil rangkuman dari
keseluruhan itu akan membuahkan totalitas makna dalam suatu puisi yang berbeda
deebgan sense yang baru memberikan gambaran secara umumsaja kepada pembaca. (Aminuddin, 2002)
e)
Theme
Tema
adalah ide dasar dari suatu puisi yang menjadi inti dari keseluruhan makna
dalam suatu puisi. Tema berbeda dengan pandangan moral ataupun message meskipun
tema itu dapat berupa sesuatu yang memiliki nilai rohaniah. (Aminuddin, 2002)
2.
Analisis
Puisi
PUISI 1
MALAM ITU
Malam itu aku seperti tercampakkan
Bagai tebu habis disesap dahaga
waktu
Ruang menghampa
Sendiri kian menganga
Tak terkira
Dimanakah dengus yang mendetakkan
gairah
Sedang aromamu berseliweran
menguntit raga
Kueja detak yang merangkak
Bosan berselimut kelam
Adakah peri mengirim isyarat di
sunyi
Sedang kepergianmu menebus rindu
Yang tak kutahu
Ingin kutinggal gelanggang
Menggelandang ke ketiak senyap
Kutawar-tawar rasa
Muntak kujilat kembali dilidah
Ah tak sanggup aku rupanya
(M. Shoim Anwar, Januari 2015)
HASIL ANALISIS PUISI 1
a) Subject Matter (Pokok Pikiran)
Dari
puisi “Malam itu” pokok pikiran yang terdapat dalam puisi adalah ungkapan rindu
yang menggebu, senyap dan sunyi yang dirasakan dalam kerinduan setelah
kekasihnya pergi. Dalam kerinduan ia merasakan kehadiran sang kekasih, yang
berfikir mampu menjalani sendiri namun ia tak sanggup menjalani, seperti yang
terdapat dalam bait terakhir puisi.
b) Feeling (Rasa)
Perasaan
adalah sikap penyair terhadap inti masalah dalam puisi. Keseluruhan struktur
fisik puisi ini menggambarkan perasaan dan suasana hati penyair. Dalam puisi
ini secara jelas menunjukannya. Perasaan rindu yang mendalam kepada seseorang.
c)
Tone
(Nada)
Nada
mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca (Waluyo, 2005:37). Nada
dimaksudkan menyampaikan kisah yang ingin disampaikan penyair tentang
permasalahan yang pernah dialami penyair.
Nada
puisi ini termasuk nada sendu, karena puisi ini seperti memberikan penjelasan mengenai
perasaan sedih dan rindu.
d) Total of meaning (Totalitas makna)
Dari
keseluruhan makna yang terdapat dalam puisi adalah kegelisahan, kesedihan, dan
kerinduan kepada seorang yang dicintai, yang tak dapat dilupakan sehingga ia
merasa sendiri dalam kesunyian. Dan meskipun dalam kesendirian ia masih
merasakan kehadiran sang kekasih.
e) Theme
Berdasarkan
hasil analisis puisi “Malam Itu”, dapat disimpulkan tema dari puisi ini
mengenai rasa rindu yang mendalam akan kepergian seseorang yang dicintai.
PUISI 2
RAMBUTMU
Gelombang mengalir di rambutmu
Basah dipagi itu
Memerah tanpa pewarna
Kukeringkan dengan panas darahku
Sebab padamu telah kueja sejarah
Yang terpendam dalam larutan
Di luar lurus lapang
Di dalam meliuk kau sembunyikan
Biarkanlah apa adanya
Rumputan menjalar indah dipandang
Telah kutemukan cermin hidupku
pada rambutmu
Saat kujamah di pagi yang basah
(M.
Shoim Anwar, Januari 2015)
HASIL ANALISIS PUISI 2
a) Subject Matter (Pokok Pikiran)
Dalam
puisi tersebut terdapat pokok pikiran yang menggambarkan kegembiraan dalam hati
sang penyair yang diungkapkan melalui bahasa penyair. Kebahagiaan dan
kesenangan yang dialami dalam hidupnya.
b) Feeling (Rasa)
Perasaan
adalah sikap penyair terhadap inti masalah dalam puisi. Keseluruhan struktur
fisik puisi ini menggambarkan perasaan dan suasana hati penyair yang
menunjukkan rasa bahagia dan penuh gairah. Perasaan yang diungkapkan melalui
puisi ini yang digambarkan secara tidak langsung oleh penyair melalui rambut.
c)
Tone
(Nada)
Nada puisi “Rambutmu” ini
termasuk nada kebahagiaan, karena puisi ini seperti memberikan penjelasan
perasaan yang dialami penyair.
d) Total of meaning (Totalitas makna)
Dalam
puisi “Rambutmu” mengandung makna yang menggambarkan suatu kebahagiaan,
kesenangan akan suatu hal yang terjadi dan telah terpenuhi, didalam puisi ini
terdapat makna yang dalam mengenai suatu peristiwa, penyair menemukan cerminan
hidupnya pada rambut kekasihnya yang dimaksudkan adalah ia telah mendapatkan
gambaran kehidupannya pada kekasihnya.
e) Theme
Berdasarkan
hasil analisis puisi struktur fisik puisi Rambutmu, dapat disimpulkan tema dari
puisi ini mengenai perasaan yang tersampaikan. Perasaan pengarang berupa rasa bahagia
karena cinta yang telah menemukan cerminan hidupnya atau kekasih hatinya.
PUISI 3
MENDUNG BERDURI
Balasanmu pendek sekali
Seperti pelepah pisang yang dirajang
celurit cemburu
Patahannya menyisakan amis di dada
Mengapa percik getahnya menyiprat ke
lading
Yang kutanam dengan cinta
Cuaca sepanjang hari mengirim
mendung berduri
Adakah aku harus berlari
Meninggalkan jejak yang terlanjur
mengurai sepi
Pada jemarimu telah kutulis sekuntum
puisi
Sementara senyap-senyap mawar yang
gugur minta kuganti biji esok hari
Tapi kilatan-kilatan celuritmu
menuding ke dahi tanpa kumengerti
(M.
Shoim Anwar, Januari 2015)
HASIL ANALISIS PUISI 3
a) Subject Matter (Pokok Pikiran)
Dalam
puisi “Mendung Berduri” menggambarkan sebuah amarah penyair karena rasa
cemburu, dimana penyair telah memberikan cinta tetapi mendapatkan balasan
penghianatan hingga ia merasakan kekecewaan yang mendalam, rasa amarah dan
kekecewaan yang tidak dapat di mengerti.
b) Feeling (Rasa)
Perasaan
adalah sikap penyair terhadap inti masalah dalam puisi. Puisi ini menggambarkan
perasaan dan suasana hati penyair. Dalam puisi ini menunjukkan perasaan sedih
yang diungkpakan kepada seseorang. Penyair mengungkapkan perasaan kecewa dan
sedih dalam puisi ini.
c)
Tone
(Nada)
Nada puisi “Mendung Berduri” ini
termasuk nada sendu, puisi ini seperti memberikan penjelasan mengenai perasaan sedih dan kecewa yang ditahan yang
dialami penyair yang telah memberikan cinta namun mendapatkan balasan yang
pahit.
d) Total of meaning (Totalitas makna)
Makna
puisi “Mendung Berduri” adalah perasaan penyair terhadap seseorang yang
dicintai. Tetapi oran tersebut justru memberikan balasan yang amat pahit. Dari
judul puisi ini dapat diartikan bahwa mendung memiliki makna gelap dan dalma
kegelapan itu juga terdapat duri yang telah menyakitinya. Penyair mencoba untuk
menungkapkan rasa sedih dan kecewa yang telah dialami.
e) Theme
Berdasarkan
hasil analisis puisi ini memiliki tema mengenai perasaan kecewa yang tertahan.
Perasaan pengarang berupa rasa kecewa dan sedih yang disembunyikan penyair
kepada tambatan hatinya.
3.
Analisis
cerpen “Dalam Kejaran Sang Raksasa” berdasarkan teori postkolonial
PENDAHULUAN
Postkolonial
merupakan sebuah wacana yang sangat menarik dan menantang. Melalui teks
masyarakat postkolonial mampu mengekspresikan dan menemukan sarana
resistensinya yang tajam. Menurut Foulcher dan Day (2008:4) postkolonial adalah
salah satu kritik sastra yang mengkaji atau menyelidiki karya sastra tentang
tanda-tanda atau pengaruh kolonial. Unsur-unsur postkolonial dapat ditemukan
dalam karya satra seperti cerpen, puisi, novel dan drama.
Teori
postkolonial dimanfaatkan untuk menganalisis khasanah kultural yang
menceritakan berbagai peristiwa yang terjadi di negara-negara pascakolonial.
Salah satu negara yang merupakan pascakolonial adalah Indonesia. Berdasarkan pemahaman
tersebut, sesungguhnya kritik postkolonial adalah suatu jaringan sastra atas
rekam jejak kolonialisme. Apabila ditelusuri dengan cermat, tentu banyak karya
sastra Indonesia modern yang merekam jejak kolonialisme bangsa Barat dan Asia
Timur Raya sepanjang sejarahnya. Atas dasar kenyataan sejarah bahwa Indonesia
pernah menjadi bagian dari kolonialisme atau bangsa yang terjajah hingga
ratusan tahun dan banyaknya karya sastra yang merekam jejak penjajahan, tentu
sastra Indonesia modern menjadi gudang penelaahan postkolinialisme.
Masalah
bahasa berkaitan dengan pengaruh bahasa kolonial terhadap bahasa terjajah, cara
pengungkapan postkolonilitas dalam teks sastra Indonesia, dan cara yang
digunakan oleh para penulis bekas jajahan dalam mendekolonisasi (kesadaran
kebangsaan) bahasa penjajahan besar. Sementara itu, masalah identitas berkaitan
dengan masalah hibriditas, yakni masalah jati diri bangsa yang berubah karena
adanya pengaruh budaya dari bangsa kolonial.
Kekuasaan
kolonial Belanda membawa dampak terhadap perkembangan kesusasteraan di
Hindia-Belanda hingga masa periode awal kemerdekaan Indonesia. Kolonial sendiri
memiliki keterkaitan dengan sifat jajahan. Kolonialisme merupakan momen
historis yang melatarbelakangi suatu bangsa. Kolonialisme telah menghancurkan
sendi-sendi kehidupan dan kebudayaan masyarakat jajahan. Bisa berupa pemaksaan
bahasa, perbudakan, peniruan dan penggantian budaya dan pemindahan penduduk.
Berkaitan dengan kolonialisme, poskolonialisme mengacu pada praktik-praktik
yang berkaitan dengan ‘hirarki sosial, struktur kekuasaan dan wacana
kolonialisme’ Gilbert dan Tompkins (dalam Allen, 2004:207). Munculnya
poskolonialisme menjadi wacana intelektual utama, lebih utamanya di
negara-negara bekas jajahan.
Teori
postkolonial digunakan sebagai strategi pembacaan yang dapat diharapkan mampu
mengungkapkan pemaknaan baru. Metode struktural yang digunakan untuk menarik
benang merah terhadap unsur-unsur struktur cerpen Tahi Lalat Di Dada Istri Pak
Lurah karya M. Shoim Anwar. Sumber data analisis diperoleh dari tuturan tokoh
dan paparan dalam cerpen tersebut yang menunjukkan relasi kuasa, subaltern,
ambivalensi, ambiguitas, dan diaspora.
PEMBAHASAN
Secara
umum postkolonial dipahami sebagai teori, wacana, dan istilah yang digunakan
untuk memahami masyarakat bekas jajahan, terutama sesudah berakhirnya imperium
kolonialisme modern. Dalam pengertian yang lebih luas, postkolonial juga
mengacu pada objek sebelum dan pada saat terjadinya kolonialisme. Oleh sebab
itu, Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya, Postkolonialisme Indonesia Relevansi
Sastra (2008:81—82) mengemukakan lima pokok pengertian postkolonial, yaitu (1)
menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial, (2) memiliki kaitan erat
dengan nasionalisme, (3) memperjuangkan narasi kecil, menggalang kekuatan dari
bawah, sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju masa depan, (4)
membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik,
melainkan juga psikis, dan (5) bukan semata-mata teori, melainkan kesadaran
bahwa banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan, seperti memerangi
imperalisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya.
Dalam
kaitannya dengan kritik sastra, postkolonial dipahami sebagai suatu kajian
tentang bagaimana sastra mengungkapkan jejak perjumpaan kolonial, yaitu
konfrontasi antarras, antarbangsa, dan antarbudaya dalam kondisi hubungan
kekuasaan tidak setara, yang telah membentuk sebagian yang signifikan dari
pengalaman manusia sejak awal zaman imperialisme Eropa (Day dan Foulcher,
2008:2—3). Jadi, menurut Day dan Foulcher, kritik postkolonial adalah strategi
membaca sastra yang mempertimbangkan kolonialisme dan dampaknya dalam teks
sastra, posisi, atau suara pengamat berkaitan dengan isu tersebut.
Seperti pada cerpen Dalam Kejaran Sang
Raksasa, dimana ada konfrontasi antar-ras antara pemimpin dengan rakyatnya,
“ Kematian mertua membuat demo
warga korban lumpur untuk meminta ganti rugi pada perusahaan pengeboran dan
pemerintah makin menguat. Di samping memblokade jalan raya, ada pula yang
ngluruk ke Jakarta. Kemacetan panjang sering terjadi karena warga menutup akses
jalan raya…. Ketegangan dengan polisi tak terhindarkan, bahkan kami pernah
dikatakan sebagai penjahat karena memblokade jalan. Semua berjalan sangat alot.
Meski begitu, taka da yang mampu menyelesaikan nasib kami, apa lagi
menghentikan semburan lumpur. Kami hidup dalam impian janji-janji…” (Anwar,
2017:176)
Kutipan tersebut mengungkapkan bahwa adanya
kekuasaan dalam suatu wilayah menjadikan salah satu diantaranya merasa tertekan,
tertindas, dan juga merasa dirugikan.
Relasi
Kuasa
Fanon
menyatakan bahwa melalui dikotomi kolonial, penjajah-terjajah, wacana oriental
telah melahirkan alienasi dan marginalisasi psikologis yang sangat dahsyat
(dalam Ratna, 2007:206). Pendapat tersebut diperjelas Ratna bahwa kekuasaan
tidak terbentuk secara struktural, melainkan mengalir melalui masyarakat secara
kapiler, kekuasaan bukan karena menguasai segala-galanya, melainkan karena
berasal dari mana-mana (2007:210).
Pendapat
Fanon marginalisasi psikologis dikotomi kolonial telah didukung oleh pendapat
Piliang bahwa terdapat permainan gender-meskipun berlangsung di dalam dunia
virtual-bukannya tidak memberikan efek psikologis di dunia nyata (2010:300).
Hal tersebut telah terjadi pada cerpen Tahi Lalat Di Dada Istri Pak Lurah.
Terdapat relasi kuasa pada cerpen tersebut. Pertama, antara tokoh janda Pak
Sarmin dengan Pak Lurah. Kedua, antara Pak Lurah dengan warga desa. Ketiga
antara Istri Pak Lurah dengan warga desa. Beberapa relasi kuasa tersebut
nampaknya telah mempengaruhi psikologis tokoh yang merasakan bahwa dirinya
terjajah. Ada yang bergerak untuk melawan bentuk penjajahan tersebut, namun ada
pula yang diam saja dan tinggal di tempat sebagai pihak terjajah, karena alasan
ketidakberdayaan. Ketiga relasi kuasa tersebut dapat dengan sendirinya muncul
dengan beberapa penjelasan dan kutipan di bawah ini:
“ Kematian mertua membuat demo
warga korban lumpur untuk meminta ganti rugi pada perusahaan pengeboran dan
pemerintah makin menguat. Di samping memblokade jalan raya, ada pula yang
ngluruk ke Jakarta. Kemacetan panjang sering terjadi karena warga menutup akses
jalan raya…. Ketegangan dengan polisi tak terhindarkan, bahkan kami pernah
dikatakan sebagai penjahat karena memblokade jalan. Semua berjalan sangat alot.
Meski begitu, taka da yang mampu menyelesaikan nasib kami, apa lagi
menghentikan semburan lumpur. Kami hidup dalam impian janji-janji…” (Anwar,
2017:176)
“ Tragedi Marsinah membuat
ketakutan para buruh di pabrik jam. Mereka khawatir jangan-jangan sang raksasa
itu bakal mencari mangsa lagi. Dengan diam-diam Lusi pindah ke pabrik lain…” (Anwar, 2017:173)
Dari
kutipan cerpen diatas, terlihat bahwa terdapat relasi kuasa antar tokoh. Ada yang
melakukan perlawaan, namun ada pula yang hanya diam tak melakukan perlawanan,
entah karena tidak berdaya atau memang ingin tetap hidup dengan aman dan
nyaman.
Ambiguitas
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ambiguitas diartikan sebagai sifat
atau hal yang bermakna dua, ketidaktentuan; ketidakjelasan. Dalam cerpen ini
terdapat ketidakjelasan mengenai “Sang Raksasa” yang terdapat dalam cerpen
Dalam Kejaran Sang Raksasa. Sang Raksasa disini memiliki makna yang tidak jelas
seperti yang terdapat dalam kutipan dibawah ini:
“ Sambil berteriak istriku
melemparkan terasi ke belakang. Terasi itu segera berubah menjadi lumpur.
Raksasa tadi terhambat dan kakinya tertancap. Tapi anehnya, tidak seperti dalam
dongeng, beberapa saat tubuh raksasa makin membesar. Hentakan kedua kakinya
menimbulkan bunyi mendebam. Jejaknya menjadi kolam yang segera dialiri oleh
lumpur…” (Anwar, 2017: 169)
“ Tapi sayang, nasib Marsinah
berakhir dengan tragis, sebelum perjuangannya tercapai secara merata. Dia
dijegal di Tugu Kuning saat pulang bersama Timas. Marsinah berteriak minta
tolong. Timas tak kuasa karena sang raksasa membetotnya dengan cepat. Marsinah
dibunuh dan dimangsa oleh sang raksasa itu…” (Anwar, 2017: 173)
“… Sang raksasa bermetamorfosa dan
masuk ke tubuh-tubuh para pengungsi, menerobos lubang pori-pori, mengalir
bersama darah, memompa jantung dan menghembuskan api permusuhan. Kini sang
raksasa ada di mana-mana, mengendalikan para pengungsi hingga detak nafasnya.”
(Anwar, 2017:177)
Dalam tiga kutipan
cerpen diatas terdapat tiga asumsi yang berbeda mengenai “Sang Raksasa”. Pada
kutipan pertama “Sang raksasa” digambarkan sebagai raksasa sungguhan yang
mencari mangsa dan akan menghabisi setiap orang, begitupun pada kutipan kedua
dimana sang raksasa berhasil memangsa Marsinah. Dan pada kutipan ketiga, snag
raksasa digambarkan sebagai suatu yang berbahaya yang telah menyebarkan api
permusuhan yang sangat besar. Jadi dari ketiga kutipan tersebut sang raksasa
mempunyai makna yang berbeda dan tidak jelas.
Diaspora
Salah
satu penemuan penting dari studi wacana kolonial adalah diaspora. Istilah
diaspora merupakan istilah lain dari perpindahan. Perpindahan yang terdapat
dalam cerpen Dalam Kejaran Sang Raksasa yaitu perpindahan tempat yang dialami tokoh
aku dari kota tempat tinggalnya ke kota tempat istri Aku tinggal.
“ … Timas takut dirinya tidak subur
seperti halnya ibunya yang hanya mampu melahirkan seorang anak meski telah
berumah tangga sekitar empat puluh tahun. Tapi keuntungan lain ada pula. Karena
belum ada anak, gaji kami berdua bisa untuk memperbaiki rumah yang kami
tempati. Tanpa sepengetahuan Timas, aku juga masih dapat membantu keluarga di
kampong halaman…” (Anwar, 2017: 174)
Tokoh
aku dalam cerpen ini sebelum menikah ia tinggal bersama keluarganya dan setelah
menikah ia berpindah dan tinggal bersama keluarga istrinya karena istri Aku
merupakan anak tunggal.
Demikianlah
analisis postkolonial yang terdapat Cerpen Dalam Kejaran Sang Raksasa karya
Shoim Anwar ini dianggap tepat untuk dianalisis melalui teori-teori
postkolonial karena menampilkan problematika kehidupan yang melingkupi indikasi
pengirim-penerima, penjajah-dijajah, penindas-tertindas,
emosinalitas-intelektualitas.
PENUTUP
Cerpen
Dalam Kejaran Sang Raksasa memperlihatkan suasana relasi kuasa antar tokohnya.
Berbagai masalah politik menjadi dasar yang menyeluruh terkait dengan cerpen.
Beberapa relasi kuasa yang terdapat dalam cerpen nampaknya telah mempengaruhi
psikologis tokoh yang merasakan bahwa dirinya terjajah. Ada yang bergerak untuk
melawan bentuk penjajahan tersebut, namun ada pula yang diam saja dan tinggal
di tempat sebagai pihak terjajah, karena alasan ketidakberdayaan. Permasalahan
yang mencakup pada cerpen ini di antaranya relasi kuasa, subaltern, ambiguitas,
dan diaspora. Berbagai permasalahan tersebut mendukung cerpen ini untuk dikaji
secara mendalam melalui analisis postkolonial.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Anwar, M.
Shoim. 2017. Tahi Lalat di Dada Istri Pak
Lurah. Lamongan:
Pustaka Ilalang.
Herwan, FR. 2005. Apresiasi
dan kajian puisi. Serang: Gerage Budaya.
Ratna, Nyoman
Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme
hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yasa,
I Nyoman. 2012. Teori Sastra dan Penerapannya. Bandung:
Karya Putra Darwati.
Komentar
Posting Komentar