TEORI
FEMINISME
Dosen Pengampu: Dr. M. Shoim Anwar, M.P.d.
Mata Kuliah:
Teori Sastra
Oleh :
2016 B/kelompok
5
1.
Muhammad
Asroril Ibad (165200058)
2.
Rosi Anisa Putri (165200041)
3.
Zahrotul
Widad (165200046)
4.
Yuliana
Irene G (1652000100)
5.
Apolinaris
Komul (165200062)
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
PGRI ADI BUANA
SURABAYA
2017
TEORI FEMINISME
A. Pengertian Feminisme
Feminisme merupakan gerakan pemberontakan
terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial yang ada, seperti
institusi rumah tangga, perkawinan, maupun
usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari kodrat.
Karena adanya prasangka
tersebut, maka feminisme tidak mendapat tempat pada
kaum perempuan, bahkan ditolak oleh masyarakat, sedangkan
menurut kaum feminis, feminisme seperti
hal nya aliran pemikiran dan gerakan yang lain, bukan
merupakan suatu pemikiran dan gerakan yang berdiri sendiri, akan
tetapi meliputi berbagai ideologi, paradigma serta teori yang
dipakainya.
Tujuan
dari feminisme itu adalah kepedulian memperjuangkan nasib perempuan. Hal
itu dikarenakan ada nya kesadaran bahwa perempuan ditindas, di eksploitasi, dan
berusaha untuk menghindari penindasan dan eksploitasi. (dalam: http://wacanasosiologi.blogspot.co.id/2011/12/memahami-teori-feminisme.html )
Secara etimologis feminis berasal dari kata famme (woman), berarti perempuan
(tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak),
sebagai kelas sosial.
Teori-teori feminis, sebagai alat kaum wanita untuk
memperjuangkan hak-haknya, erat berkaitan dengan konflik kelas dan ras,
khususnya konflik gender. Artinya, antara konflik kelas dengan feminism
memiliki asumsi-asumsi yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan
hegemoni, pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap
lebih kuat.
Menurut Teeuw beberapa indikator yang diaggap telah memicu
lahirnya gerakan feminism di dunia Barat adalah:
- Berkembangnya teknik
kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari keuasaan
lelaki.
- Radikalisasi politik, khususnya
sebagai akibat perang Vietnam.
- Lahirnya gerakan pembebasan
dari ikatan-ikatan tradisional.
- Sekularisasi, menurutnya wibawa
agama dalam segala bidang kehidupan.
- Perkembangan pendidikan yang
secara khusus dinikmati oleh perempuan.
- Reaksi terhadap pendekatan
sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti KritikBaru
dan strukturalisme.
- Ketidkapuasan terhadap teori
dan praktik ideology Marxis.
Menurut Selden (1986:130-131) ada lima masalah yang biasanya
muncul dalam kaitannya dengan teori feminis, yaitu:
1.
Masalah biologis
2.
Pengalaman
3.
Wacana
4.
Ketaksadaran
5.
Pengalaman
6.
Masalah sosioekonomi. (Kutha Ratna, 2013: 183-184)
B. Aliran Feminisme.
Feminisme memiliki delapan aliran yang
meliputi
1. Feminisme Liberal
Aliran ini dipengaruhi oleh
teori struktural fungsionalisme,muncul sebagai kritik terhadap teori kritik
liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan, dan
nilai moral, serta kebebasan individu, akan
tetapi pada saat bersamaan dianggap mendeskriminasi kaum perempuan. Dalam
mendefinisikan masalah kaum perempuan, aliran ini tidak melihat
struktur dan sistem sebagai pokok permasalahan. Feminisme
liberal memiliki asumsi dasar bahwa kebebasan atau freedom dan kesamaan (equality) berakar
pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Menurut
kerangka feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada
“kesempatan
yang sama dan hak yang sama” bagi setiap individu, termasuk didalamnya kaum
perempuan.
Menurut aliran feminisme liberal, kaum perempuan dalam keadaan
tertinggal disebabkan oleh kesalahan “mereka sendiri”.
Artinya, jika sistem sudah memberikan kesempatan yang
sama pada laki-laki dan perempuan, tetapi ternyata kaum
perempuan tersebut kalah bersaing, maka kaum perempuan
tersebut harus disalahkan. Menurut aliran feminisme
liberal cara yang dilakukan untuk memecahkan masalah kaum perempuan dengan cara
menyiapkan kaum permpuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh
persaingan bebas. Contohnya dalam program-program perempuan
dalam pembangunan (
women in development) yakni dengan menyediakan program intervensi guna
menigkatkan taraf hidup
keluarga seperti pendidikan dan ketrampilan serta kebijakan yang dapat
meningkatkan kemampuan perempuan sehingga mampu berpartisipasi dalam
pembangunan.
Feminisme
liberal tidak pernah mempersoalkan diskriminasi sebagai akibat dari ideologi
patriarkhi.
2.
Feminisme Radikal
Trend ini muncul sejak
pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi
"perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini
muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis
kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan
industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah
satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah
sesuai namanya yang "radikal". Feminis Liberal memilki
pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara
kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara.
Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang
terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga
menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh
kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari
kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk
kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara
hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam
hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam
perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai
“kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh
dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat
kebijakan di sebuah negara”.
Aliran ini bertumpu pada
pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki.
Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh
karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak
reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa
perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is
political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan
prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat
ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak
ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar
persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI
no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
3.
Feminisme
Post Modern
Ide Posmo menurut anggapan
mereka ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas
dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya
pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa
gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
4.
Feminisme Anarkis
Feminisme
Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham
politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan
sistem patriaki dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera
mungkin harus dihancurkan.
5.
Feminisme
Marxis
Aliran ini memandang
masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber
penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori
Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini status perempuan
jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan
produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi
keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange
dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan, perempuan
direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada
keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat borjuis dan
proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur
masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus. Kaum
Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap
bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari
interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki
kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat
kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
6.
Feminisme
Sosialis
Sebuah faham yang
berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada
Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang
untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir
pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti
ide Marx yang
menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik
terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul
sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh.
Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan.
Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami
penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme
merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini
juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber
penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling
mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga
inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena
peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai
konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda
perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem
patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat
problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
7. Feminisme
Postkolonial
Dasar pandangan ini berakar
di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang
hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan
berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan
lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga
mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme
menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat
penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun
mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives
on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan
ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang
dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”
8.
Feminisme Nordic
Kaum Feminis Nordic dalam
menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis
maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik
dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum
perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan
sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial
negara. (Dalam: http://wacanasosiologi.blogspot.co.id/2011/12/memahami-teori-feminisme.html )
DAFTAR PUSTAKA
Kutha
Ratna, Nyoman. 2013. Teori, Metode, Dan Teknik
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
T.N.
2011. “Teori Feminisme”. Dalam: http://wacanasosiologi.blogspot.co.id/2011/12/memahami-teori-feminisme.html. (Diakses pada tanggal 28 April 2017)
Komentar
Posting Komentar